Pembicara: Agung Dian Kharisma, S.Pd.Si., M. Biotech., Ph.D.
PT Widya Teknologi Hayati
Jum’at, 9 Desember 2022
Program Studi Bioteknologi UGM Kembali melaksanakan kuliah umum pada hari Jumat, 9 Desember 2022 dengan pemateri Mas Agung Dian Kharisma, S.Pd.Si., M. Biotech., Ph.D. Materi yang ia bawakan berkaitan dengan resistensi pada tanaman dengan perlakuan heat shock. Mas Agung Ph.D. mengawali pertemuan ini dengan bertanya kepada peserta seminar perihal ap aitu resitensi pada tanaman. Menurut Agung Dian Kharisma Ph.D. resistensi pada tanaman ialah berkaitan dengan memori ketahanan terhadap pathogen namun bukan sebuah antibodi. Sejauh yang diketahui, tanaman tidak memiliki mekanisme ketahanan antibody seperti halnya pada binatang. Namun demikian, terdapat treatment yang dapat dilakukan untuk mengaktifkan beberapa senyawa pada tanaman yang berperan sebagai bentuk ketahanan. Senyawa tersebut bukanlah “memori” namun hanya range aktif suatu senyawa yang perlu diinduksi. Jika manusia memiliki “memori” yang jangka panjang dan dapat diinduksi maka perbedaan sistem resistensi tersebut berbeda pada tanaman. Kini Agung Dian Kharisma Ph.D. akan lebih berfokus pada pembahasan metode alternatif resistensi pada tanaman dengan heat shock induced resisten (HSIR). Penelitian terkait resistensi suatu tanaman juga dilakukan oleh Agung Ph.D. di PT Widya Teknologi Hayati.
Bicara tetahanan tanaman terhadap suatu penyakit ialah membicarakan bagaimana cara meningkatkannya. Hal ini karena tanaman hanya memiliki senyawa yang berperan dalam melawan pathogen namun bukan sebuah sel memori seperti halnya pada binatang. Setiap tanaman sudah memiliki sistem kekebalan bawaan namun terkadang tidak cukup kuat dalam melawan pathogen. Metode alternatif heat shock merupakan salah satu cara untuk meningkatkannya. Umumnya, terdapat dua cara untuk meningkatkan resistensi tanaman yaitu plant breeding dan induction. Plant Breeding adalah cara untuk mendapatkan tanaman resisten dengan perkembang biakan. Cara konvensional dari plant breeding adalah hibridisasi, yaitu tanaman potensial di hybrid dengan tanaman tahan penyakit yang kemudian di seleksi 8-10 putaran atau setara 8-10 tahun hingga hasil yang diperoleh stabil. Kemudian tanaman hasil persilangan tersebut diperbanyak. Untuk menyamakan kemampuan ketahanan tanaman agar sama dengan induknya dapat menggunakan metode kultur jaringan. Kemudian ada juga metode mutase yaitu menggunakan senyawa kimia tertentu. Terbaru dalam metode breeding ialah plant transgenic breeding yaitu penerapan teknologi molekuler seperti plasmid atau genom yang diinjeksikan ke sel atau organ. Salah satu penelitian di PT Widya Teknologi Hayati ialah menekan salah satu gen dengan menggunakan pathway. Gen tersebut di modifikasi menggunakan E. coli, Agrobacterium, atau construction DNA. Kemudian yang telah Agrobacterium yang dimodifikasi dapat dimasukan ke dalam tanaman. Selanjutnya tanaman hasil modifikasi genetic dikembangkan dan diseleksi untuk mendapatkan hasil terbaik. Terbaru ialah menggunakan genome editing dengan metode CRISPR.
Cara kedua dapat digunakan ialah induction plant resistant. Cara ini dilakukan dengan cara memicu suatu tanaman agar ketahanan bawaannya meningkat. Seperti halnya pada manusia yaitu vaksin agar ketahanannya meningkat, begitu pula dengan tanaman. Pada kondisi alami, suatu tanaman dapat terserang pathogen yang dapat memicu hormone tertentu sehingga menginduksi senyawa seperti salicylic acid (SA) dan jasmonic acid (JA). Senyawa SA dan JA yang akan terakumulasi dan menginduksi gen ketahanan tanaman atau Pathogen Related (PR) protein. PR protein inilah yang kemudian akan menjadi senjata bagi tanaman untuk melawan pathogen. Mekanisme ini tidak hanya terjadi di lokal infeksi saja namun hormone yang dihasilkan juga dapat membawa informasi ke bagian lain yang tidak terinfeksi pathogen dengan dosis tertentu. Jika hormon tidak mencapai ambang batas, maka hasil yang diperoleh tidak sistemik atau mentransfer ke bagian lain dari tanaman. Mekanisme ketahanan sitemik atau systemic acquired resistance (SAR) pada tanaman inilah yang menjadi upaya dari treatment heat shock. SAR dapat diperoleh untuk menghasilkan konsentrasi SA yang tinggi akibat induksi. SA yang tinggi dapat menjadi senjata dalam jangka waktu tertentu sehingga ketika infeksi datang maka suatu tanaman sudah memiliki senjatanya atau primary effect. Secara buatan, metode ini dapat dilakukan dengan perlakuan berbagai macam senyawa kimia.
Heat shock treatment menjadi suatu metode yang terbukti dapat menginduksi ketahanan tanaman. Agung Ph.D. juga mencontohkan salah satu gambar untuk melindungi tanaman dari penyakit yaitu dengan menginduksi ketahanan tanaman. Terdapat kasus pula yang terjadi di Jepang dimana banyak pertanian yang menggunakan green house. Dalam kondisi tersebut, dicontohkan oleh Agung Ph.D. disaat summer, jika green house di tutup maka tanaman yang terserang penyakit lebih sedikit daripada green house yang dibuka. Dijelaskan bahwa suhu di dalam green house, di Jepang dapat mencapai 45 derajat celcius bahkan mencapai 60 derajat. Karena itulah, ketika musim dingin tiba para petani di Jepang biasanya menggunakan heater. Fenomena tersebut digambarkan sebagai fenomena tak terduga yang kemudian memicu penelitian heat shock induced treatment. Hasil dari green house yang ditutup, infeksinya jauh lebih rendah karena terkena heat shock. Hal ini kemudian menjadi latar belakang penelitian yang dijalankan oleh Agung Ph.D.
Kemudian preliminary penelitian dilakukan secara terkonsep yang memberikan hasil bahwa tanaman tanpa fungsida dengan heat shock dibandingkan dengan penggunaan fungsida tanpa heat shock. Hasil yang diperoleh dari keduanya ternyata hampir mirip tanpa adanya penyakit. Setelah perbandingan tersebut, dugaan heat shock pun semakin kuat sebagai penginduksi senyawa ketahanan tanaman. Kemudian proses selanjutnya ialah uji coba menggunakan air panas sebagai treatment heat shock. Menggunakan optimasi suhu yang ternyata terbukti dapat melawan paparan fungi. Kemudian hasil yang diperoleh dikembangkan dalam sebuah penelitian yang lebih komprehensif.
Beberapa penelitian juga telah dilakukan sebelumnya yang ditampilkan dari tahun 2012 hingga 2021. Dimulai dengan pengecekan ekpresi gen hingga aplikasinya di lapangan. Maka Agung Ph.D. dapat menyimpulkan jika heat shock ini potensial untuk menginduksi ketahanan tanaman sebagai alternatif method. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ani Widiastuti menemukan jika pathway HS yang menginduksi SA memberikan efek yang sama seperti Ketika tanaman terkena infeksi. SA yang akan mengindukri Transcription Factor (TF) dan menginduksi PR protein yang akan menyerang infeksi pathogen itu sendiri. Satu pathway telah dikonfirmasi oleh Ani Widiastuti yang menunjukkan hasil serupa dengan infeksi. Terdapat senyawa kimia seperti BIT dan PBZ yang dapat menginduksi SA. Senyawa BTH berperan langsung dalam menginduksi TF untuk menaktifkan PR protein. Namun faktanya, terdapat beberapa gen yang meningkat terlebih dahulu sebelum SA. SA akan meningkat 24 jam setelah terjadinya heat shock. Pada umumnya SA akan naik terlebih dahulu dan menginduksi ketahanan tanaman. Namun penemuan sebelumnya menjelaskan jika terdapat beberapa gen yang meningkat terlebih dahulu sebelum SA. Pertanyaan berikutnya ialah siapa yang meningkat terlebih dahulu sebelum SA?. Inilah yang kemudian menjadi inspirasi penelitian berikutnya. Secara teori mekanisme tersebut dikenal dengan SAR. Selain itu terdapat metode lain yaitu induce acquired resistant (IAR).
Perlu diketahui bahwa hormone SA dan JA memiliki sifat saling antagonis. Kedepannya perlu adanya konfirmasi bagaimana kinerja hormone jasmonic acid dengan salicylic acid. Penelitian berikutnya ialah berusaha mengonfirmasi kebenaran hormone lain yang memicu ketahanan tanaman. Kemudian terkonfirmasilah peran Heat Shock Transcription Factor sebagai salah satu mekanisme pemicu ketahanan tanaman. Secara teori pada kondisi normal, heat shock respon yang berperan utama ialah HSP dan HSF. Adanya heat shock maka HSE akan pecah dan mengaktifkan HSF yang akan berikatan dengan HSF lainnya dan masuk kedalam nucleus dan menginduksi gen HSP. Inilah yang menjadi dasar hipotesis proses penempelan HSP ke HSF yang menginduksi PR protein yang kemudian dapat melawan pathogen secara langsung.
Lebih lanjut, Agung Ph.D. mengkomparasi tanaman yang memiliki HSE dan non-HSE. Hasilnya ialah HST, gen yang memiliki HSE mengalami peningkatan, sementara yang tidak memiliki HSE hanya terdapat satu gen saja yang meningkat. Hasil tersebut mengerucutkan pada 2 kemungkinan yaitu HSF pathway atau SAR pathway. Jika tanaman tidak punya HSE maka kemungkinan besar melalui SAR. Terkonfirmasilah jalur kedua yaitu HSF mediated pathway dalam menginduksi PR gen. Sejauh ini baru dua jalur yang terkonfirmasi bekerja dibawah HSIR.
Secara praktikal metode HS telah dijalankan menggunakan sprayer air panas dengan suhu sekitar 50 derajat. Penerapan metode ini memberikan hasil yang lebih segar pada tanaman dengan perlakuan HS dan hasil yang lebih pucat pada tanaman non perlakuan HS. Untuk penggunaan fungsida ternyata lambat laun menyebabkan resisten terhadap DMI karena adanya mutasi. Kondisi tersebut menjadikan tanaman justru tidak berefek jika menggunakan fungsida terutama dalam membunuh jamur. Namun, penggunaan kombinasi HS+Fungsida justru mengurangi adanya mutasi akibat paparan fungisida yang berlebihan. Terbaru ialah melakukan komparasi dengan UV-B untuk menginduksi resistensi. Hasilnya ternyata ekspresi gen Chi2 mengalami peningkatan yang menunjukkan SA pasti naik, LOX6 sebagai ekspresi gen Jasmonic Acid juga mengalami peningkatan dan ETR2 juga mengalami peningkatan. Efek dari penggunaan UV-B hamper sama seperti HS namun tidak sistemik. Di Indonesia penggunaan metode HS masih menjadi peluang besar untuk melakukan penelitian.
penulis : Buhairi Rifqa Moustafid